NGAMBEK

Pagi ini seperti biasa, aku menyiapkan menu sarapan sekaligus makan siang. Bukan suatu yang mudah
buat seorang ibu rumah tangga merangkap seorang wanita pekerja untuk menyiapkan pergantian menu
setiap hari, dan belum lagi masih harus dibatasi oleh persediaan di warung yang kadang tidak sesuai
dengan daftar menu yang telah susah payah dirancang malam sebelumnya. Dengan segala keterbatasan,
jadilah menu untuk hari ini adalah teri goreng tepung, cumi kuah, sambal terong, dan tumis buncis.

Semua masakan hampir telah tersaji dengan sempurna. Teri goreng tepung sejak awal telah masak,
dan sejak awal telah jadi bahan cemilan hangat buat suamiku tercinta. Cumi kuah pun telah sangat
menantang untuk segera disantap, sudah terbayang di lidahku gurih bumbunya yang berwarna hitam
itu. Tumis buncis dan sambal terong masih terjerang di atas api, ketika tiba-tiba suamiku dengan tenang
memanggil ibu penjual nasi uduk.

“Bu, uduk ya” teriak suamiku tanpa rasa bersalah, “Neng, mau beli uduk nggak?” Tanya suamiku padaku.

Dengan nada cemberut kujawab pertanyaan suamiku dengna nada ketus, “Nggak!”

Kuharap suamiku mengerti dengan nada kerasku, tapi dengan cuekmya dia tetap mengambil piring dan
membeli nasi uduk lengakap dengan tempe goreng, kerupuk dan teluar dadarnya. Kulirik sekilas nasi
uduk di tangan suamiku, tampak enak sekali, apalagi aku sedang hamil, rasanya semua makanan yang
dimakan orang terasa nikmat di lidahku. Tapi aku ingin suamiku tahu, aku sedang marah, bisa-bisanya dia
membeli nasi uduk setelah aku berlelah-lelah memasak dan menyiapkan makan.

Kumatikan kompor dengan sayur dan sambal yang belum masak, masuk kamar, mengunci diri, dan
bercucuranlah air mata ku. Sedih, kesal, aku merasa betul-betul tidak dihargai. Bangun subuhku rasanya
percuma, lebih baik aku berdiam di bawah selimut merah hangatku daripada berdingin-dingin pergi ke
warung jika akhirnya tak ada yang akan memakan masakanku.

“Neng, kok masakannya belum selesai kompornya sudah dimatiin!” tanya suamiku dari arah dapur.

“Capek, Mas……….” Pelan sakali suaraku, sambil terisak aku keluar menemui suamiku, “Mas, buat apa aku
masak kalau tidak ada yang akan memakannya. Buang saja sekalian. Mas kan punya banyak uang untuk
terus membeli makan di luar. Toh, masakanku juga nggak enak dimakan. Aku mau tidur saja sekarang,
capek”

Dasar! Aku melihat suamiku cuma tersenyum, tanpa dosa. “Oh, jadi lagi ngambek nih, ntar cepet tua lo
kalau marah-marah”

“Biarin!”

“Semalam kan aku nggak makan jadi aku tadi sudah sangat kelaparan, mosok nggak boleh beli nasi uduk”
tukang rayu, pinternya emang ngegombal.

“Nggak makan? Semalam bukannya sudah makan mie semangkok, dan menghabiskan satu porsi somay.
Emang nggak kenyang?” Heran juga aku dengan perut suamiku ini.

“Tapi kan nggak makan nasi. Nanti aku makan lagi yah setelah menghabiskan nasi uduk ini, kan kalau
nggak dimakan jadi mubazir”. Matanya mengedip genit, sambil mencubit hidungku.

Sambil tersenyum dengan mulut masih menciut, kuselesaikan masakanku. Ah, suamiku.



                                      * * *
Cerpen ini saya buat ketika menjawab tantangan dari konsultasimenulisonline, dan tanggapannya  "Sudah saya baca, gaya penulisan sudah cukup ok...tinggal lebih banyak berlatih dan mencari tema yang bikin pembaca penasaran"

Jadi penulis memang ternyata susah, kadang mau berlatih masih tergantung mood. Buat temen-temen yang punya cita-cita jadi penulis, ayo semangat, terus berlatih.