Salahkah Cinta


Rindu. Sungguh aku tak mampu menahan lebih lama tentang rasa ini. Aku terjebak dalam lingkaran cinta buta yang tak dihalalkan. Namun apa dayaku ketika cinta menyapa dan aku tak mampu menghindar. Apakah semua salahku dengan getar indah yang selalu kurasa ketika berada di dekatmu, atau salahku juga ketika mimpi hadir tentang indahnya kebersamaan antara kita. Aku begitu tulus mencintaimu, tak bolehkah aku berharap menjadi bagian dari dirimu ketika cinta menjadi halal dan ketika rindu tak lagi menjadi rasa bersalah. Aku akan tetap bersabar dengan rasa cintaku meskipun aku akan menjadi yang ketiga setelah istri dan anakmu”.

Dalam balutan rindu yang menusuk kalbu, shofa tertidur dengan air mata rindu yang membasahi wajah dan buku hariannya yang masih terbuka.

Pagi ini Shofa terbangun dengan mata sembab. Dia bingung haruskah dia berangkat kerja atau lebih baik di rumah menyembunyikan bekas tangisnya. Namun kerinduan membuatnya memilih bergegas menuju kantor tempatnya bekerja.

“Dik, bisakah aku menjadi seorang istri dan ibu yang baik?” Tanya Shofa pada Dika, cintanya, yang hampir selalu membuat matanya basah menahan rindu yang tak kunjung berlabuh.

“Tentu Shofa. Engkau pasti akan menjadi istri dan seorang ibu yang sholehah”. 

Meraka memang telah lama saling kenal, telah terbiasa saling cerita tentang masalah apapun, termasuk tentang ketidakharmonisan rumah tangga Dika. 

“Kalu begitu nikahi aku………….”. Merunduk, penuh malu Shofa menyampaikan isi hatinya.

“Shofa…………….”

“Mengapa?Aku tak pantas memintanya? Apakah masih lebih pantas aku memendam rindu yang terlarang, atau ………….”

Dika segera memotong kata-kata Shofa, “Bukan. Bukan karena itu, aku menyanyangimu. Sangat menyanyangimu tapi aku tak pernah ingin menduakan perasaanmu. Hanya akan ada satu wanita dalam hidupku, dan aku pun berharap itu adalah kamu. Tapi takdir telah berkata lain. Aku telah mempunyai istri dan anak. Apakah kamu ingin aku menceraikan istriku agar cinta kita dapat bersatu?”. Dika menatap mata Shofa, namun Shofa langsung menundukkan wajahnya.

“Tidak. Aku tidak ingin merusak rumah tanggamu. Biar cinta ini kutanggung sendiri, hingga waktu yang akan menjawab semuanya”

Dalam hatinya, sungguh Shofa lebih rela berbagi cinta dengan istri dan anak Dika daripada melihat mereka bercerai berai. Namun jawaban Dika yang ingin menceraikan istrinya membuatnya takut. Malam itu, bada tahajud, Shofa menangis di hadapan Robbnya, mengadukan segala rasa dan memohon keputusan yang terbaik untuk hidupnya.

“Ya Allah, aku sungguh mencintai Dika. Namun jika Engkau tidak mentakdirkan kami bersatu maka hilangkan segala rasa di antara kami. Berikan yang terbaik untuk kami”. Air mata itu bersatu dalam kepasrahan dan ketundukan atas semua takdir Allah.