TAK BOLEHKAH AKU MENCINTA

“8 Juli 2010. Cinta, terlalu sulit untuk dimengerti, terlalu susah untuk mampu dipahami. Cinta selalu jadi misteri ketika dia datang pada sekeping hati, ketika dia menyentuh dasar hati, relung hati yang paling dalam, ketika diri tak mampu untuk menghindar. Ketika dia menyisakan rasa sakit dan perih, pedih karena tak mampu mendapatkan hati yang dikasihi, ketika diri ingin selalu bersama terkasih, tapi larangan, batasan, dan jarak memisahkan.

Siapakah yang patut  dipersalahkan ketika cinta akhirnya menyapa. Tak cukupkah derita dan air mata menahan rindu dan keinginan bersama. Apakah hukuman atas derita hati ini belum cukup sebagai penebus dosa dan salah. Mengapakah lagi harus merasakan kehampaan, sepi, dan sunyi sendiri ketika tak bersama yang tercinta”.

Kututup buku diaryku, kucoba pejamkan mataku. Malam telah sangat larut. Desir angin berhembus pelan memasuki kamar tidurku. Semakin kurasa sepi itu, rindu itu, dan semakin kuterpuruk dalam rasa bersalah, rasa berdosa karena memendam cinta yang terlarang.  Bukan ku tak lelah ketika harus terus bertahan dengan semua rasa ini, bukan ku tak ingin membebaskan diriku dari cinta ini, tapi aku masih tak mampu ketika dia yang kurindu selalu memberikan debar dan getar di hatiku.


Pagi ini akhirnya aku harus kesiangan lagi. Dengan dua orang anakku yang masih kecil-kecil, pengasuh yang baru datang setelah aku seharusnya sudah mengantarkan anak pertamaku ke sekolah, membuat keberangkatanku ke kantor setiap pagi harus berburu dengan waktu. Mungkin jika aku punya pendamping, ada yang akan membangunkanku ketika aku kesiangan, ada yang bisa diajak kerjasama menyelesaikan pekerjaan rumah, tapi yang pasti ada seseorang yang bisa diajak berbagi tentang suka dan duka, tentang cinta. Tiba-tiba bayangan dia yang selalu mengisi malam-malam sepiku kembali hadir.

“Eh, mbak  Nadia. Ayo mbak, satu menit lagi, belum terlambat” sapanya ramah membuat jantungku rasanya berhenti sesaat. Wajah cerahnya itu selalu saja membuatku malu untuk menyapanya, untuk mengajaknya bicara.

“Alhamdulillah, lumayan juga kalau harus terlambat”. Kataku pelan. Proses absensi di kantor dengan system handkey seharusnya memang telah aku antisipasi sehingga setiap hari aku tidak harus selalu hampir terlambat.

“Memangnya dari rumah jam berapa, Mbak?”

“Jam  tujuh, masih harus mengantarkan anak pertamaku sekolah”

“Besok berarti harus lebih pagi lagi  donk, Mbak”

“Iya, semoga besok bisa lebih pagi”

Percakapan yang singkat tapi mampu membuat  hariku menjadi lebih indah, cukup mampu menghadirkan senyumku di setiap detik waktuku. Berharap masih kan ada waktu untuk kembali bicara, ada sedikit  alasan untuk bisa menatap wajah lembutnya. 

Kegiatan di kantor selalu saja rasanya mampu membuat waktu cepat berlalu. Mungkin juga karena di kantor ada seseorang yang mampu membuatku merasa nyaman, merasa aman, dan damai. Dan ketika waktu pulang ke rumah, ada sedikit keraguan bahwa bayangnya kembali akan mewarnai malamku, mencuri waktuku untuk anak-anakku, menimbulkan rindu yang tak tergantikan oleh keceriaan dan kecerewetan anak-anakku.

Dosakah rindu ini. Aku lelah menahan rindu ini. Rindu yang tak mampu keterjemahkan…” tiba-tiba saja tulisan yang keketik pelan pada ponselku meluncur cepat ke sebuah nomor miliknya. Milik seseorang yang sering menghiasi hari dan mimpiku. 

Aku terkejut, setengah tak percaya, dibawah alam sadarku, aku telah menekan tombol kirim pada nama pemuda itu. Seseorang yang seharusnya kuanggap sebagai adikku karena usia kami yang terpaut jauh, seseorang yang tak pantas kurindu. Mana mungkin pemuda sepertinya bersedia jatuh cinta dan mendampingi hidup seorang janda seperti aku, apalagi dengan dua anakku yang masih kecil. Tersungkur aku dalam tangis ketika menyadari perbedaan kami.
“satu satu….”
Suara anakku yang menyanyikan lagu satu satu aku sayang ibu, menyadarkanku dari lamunan. Ada sebuah sms masuk. Tiba-tiba saja jantungku berdetak cepat begitu tahu siapa yang mengirim sms.

Mbak, Kenapa harus menahan rindu? Biarkan saja mengalir seperti air. Emang rindu pada siapa?”

Bingung harus kujawab dengan perkataan apa. Tapi rindu begitu menyesak, berontak, ingin disampaikan.

Rindu pada seseorang yang tak pantas, seseorang yang tak halal untuk dirindu, kamu……..”

Lega. Beban itu terasa lebih ringan sekarang. Malu, tapi aku lebih pasrah. Jika dia membalas dengan kemarahan dan kata-kata bahwa aku tak layak mengharap cintanya, maka aku yakinkan diri bahwa cinta ini memang harus berlalu, pergi tertiup angin, terbang melayang tinggi menuju awan.
Ah, Mbak. Ada-ada saja” Aku bengong……….jawaban macam apa ini.

* * *
Sejak malam itu, nyaris tak pernah satu malam pun terlewat tanpa ada sebuah sms pun yang terkirim. Rasa itu kini semakin besar. Cinta itu semakin mendekapku tanpa ragu, membunuh akal sehatku, menyingkirkan rasa maluku. Ungkapan sayang, pernyataan rindu semakin sering kukirimkan. Dan semua kata itu tulus aku rasakan, bukan karena aku ingin menggoda, bukan ada niat ingin mempermainkan, apalah arti seorang aku jika isi hatiku dinilai serendah itu.

Namun sms-sms sering tak berbalas. Ya, aku mengerti jika dia ingin menghindar dariku. Ketika semakin sering aku mengirimkan kata ‘aku kangen’padanya. Tak apa, aku sangat mengerti dengan segala kekuranganku. Tapi tetap saja, sms-smsm itu terus mengalir dan berhenti pada sebuah nomor, miliknya.

Pada suatu malam minggu yang tenang, ketika anak-anak telah tertidur nyenyak di peraduan mereka, ketika rindu mengalirkan bening kristal di mataku, ketika mata pun tak mampu terpejam, ketika anganku semakin menghadirkan dia di sisiku, berharap dia menemani malamku, menghabiskan malam bersama. Keinginan ini sungguh hina, tapi aku sungguh merasa rindu.

Jari-jariku kembali menulis kata-kata rindu, kata-kata betapa aku tak pantas mencintainya, dimulai dengan permintaan ‘maaf telah mengganggu”. Dan aku tak percaya dengan balasan yang akhirnya aku terima, “Aku tak pernah menganggap bahwa status Mbak dengan dua orang anak adalah suatu keterbatasan. Itu adalah suatu kelebihan yang membuat aku ingin menjadi bagian dari keluarga Mbak. Aku ingin memenuhi keinginanku mempunyai banyak anak , minimal 4 orang anak. JIka kita menikah, kita hanya tinggal menambah dua orang anak lagi, maka genaplah keinginanku. Aku ingin melamar Mbak menjadi ibu dari anak-anakku”

Ya Allah, tak salahkah aku membaca sms ini. Ataukah dia hanya ingin mempermainkan perasaanku.

Tidak, kamu masih mempunyai masa depan yang lebih indah dengan seorang gadis baik hati, gadis sholehah yang akan menjadi penyejuk matamu. Janganlah berfikir untuk menikahi seorang janda. Aku hanya ingin mencintaimu saja, cinta yang tulus, tidak mengharap balasan cinta darimu. Aku sungguh tak pantas menerima lamaranmu

Menangis. Hanya itu yang bisa kulakukan. Andai aku berada pada kondisiku sepuluh tahun yang lalu, ketika aku masih seorang gadis muda, pasti aku sangat gembira menerima lamaran seorang pemuda yang kukasihi, tapi waktu telah berubah, keadaan tak lagi berpihak padaku.

* * *
“14 Februari 2011. Mungkin hanya sepenggal duka yang bisa kusampaikan pada tiap getar dan debar yang semakin sering mengajakku bercumbu. Bukan sebuah cerita tentang asa yang membangkitkan semangat, tapi  tentang sepotong  harapan yang terenggut dari setiap keinginan yang membuatku semakin terhanyut. Aku terhanyut oleh keinginan hati ketika aku semakin tak mampu memenuhi setiap bisikan kalbuku yang menyiratkan kelemahanku dan ketidakmampuanku.
Bukan. Bukan aku menyalahkan kamu karena aku tahu kamu tak kan bisa mendekati aku. Kita seperti berada di dua dunia yang berbeda, sekalipun kupersembahkan seluruh cintaku padamu tak kan bisa mendekatimu. Begitupun seandainya kamu persembahkan rasa sayangmu semua untukku, tak kan mampu membuatmu mampu menyentuhku. Ada lautan yang sangat luas, padang yang sangat gersang, yang tak kan mampu kulewati untuk mampu meraih hatimu dalam pelukanku.  Bukan  pula aku ingin menyalahkan takdir yang tak bisa menyatukan kita karena semua persoalan dunia sudah ada dalam genggaman-Nya.
Semua yang kualami mungkin hanyalah sebuah keputusasaan ketika ku tak mampu memilih jalan yang terbaik untuk kehidupanku, bukan hanya tentang kehidupan di dunia, tapi juga tentang kehidupanku selanjutnya.  Aku kecewa, walau tak berani aku katakan meyesal, terlalu naïf jika aku berani ungkapkan kata itu. 
Jika aku tak menjawab tanyamu, bukan karena aku tak ingin. Aku sangat ingin sekali menjawab ‘IYA’. Tapi aku ragu, akankah engkau bahagia jika bersamaku. Aku takut, aku tak kan mampu membahagiakanmu. Aku tak ingin engkau menderita bersamaku.
Untuk setiap kata yang terungkap tentang kamu, untuk semua perasaan yang terukir indah tentang kebersamaan kita di hatiku, ingin untuk kesekian  kalinya kuucapkan selamat menetap, bersemayam dalam ingatanku, karena semua kenangan itu terlalu berharga untuk dilupakan”

Kututup buku harianku. Kupasrahkan semua cinta dan harapku hanya pada Robbku. Ada isak kecil yang masih sering menyertai malam-malamku, tapi semuanya harus berakhir. Aku tak ingin berharap lagi, aku tak ingin membuat dia yang kusayangi dengan tulus menderita bersamaku. Aku ingin dia berbahagia dengan seorang gadis yang akan membahagiakan hidupnya, dan aku sadar itu bukanlah aku.

Selamat tinggal cinta.

gambar diambil dari sini