PERNIKAHAN

Bismillah.

Pernikahan itu sakral, pernikahan itu suci. Pasti banyak orang yang mengharapkan pernikahan yang berbahagia. Tapi bahagia itu seperti apa?


Ketika belum menikah, penuh harap akan datang seorang laki-laki/wanita idaman yang akan merubah hidup menjadi lebih bermakna, lebih berarti, dan lebih bahagia. Bukankah memang seharusnya begitu, pasangan hidup adalah penyempurna hidup. Bukankah menikah adalah gerbang penyempurna sebagian Dien, dan tentu saja seharusnya dengan pernikahan kehidupan akan menjadi lebih baik. Sehingga menjadi suatu kewajaran, jika kemudian mengharapkan pasangan yang akan mengingatkan ketika lupa, meluruskan ketika salah, dan menyadarkan ketika alpa. Mungkin sebelum nikah, kita lupa bahwa laki-laki/wanita yang kelak akan menjadi pasangan hidup kita adalah manusia biasa. Mereka hanya manusia yang terkadang lupa dengan janji-janjinya, terkadang lupa dengan tanggungjawabnya, dan mengapa kita kadang malas untuk mengingatkan mereka, atau mungkin justru mereka yang sebenarnya tidak pernah mau mendengar teguran kita, tak pernah mau menuruti nasehat kita.

Masa-masa awal menikah memang merupakan masa yang indah. Ketika kita untuk pertama kalinya merasakan indahnya berpacaran, indahnya jalan-jalan berdua, bulan madu berdua, masih merasakan rindu ketika berpisah sesaat saja. Tapi, ketika kehidupan pernikahan telah dimulai, maka satu demi satu masalah mulai muncul.

Konflik dimulai ketika ada perbedaan kufu, baik dari tingkat pendidikan, penghasilan, cara pandang yang pastinya berbeda, dan juga ketika kita menyadari ternyata pasangan kita tidak sesempurna yang kita harapkan, tidak semulia yang kita inginkan. Suami cuma tamat SMA, sementara istri sudah bergelar doktor dari sebuah universitas ternama, setiap bicara, hampir tidak pernah 'nyambung'. Istri yang terbiasa punya barang mewah, tiba-tiba suami tidak mampu membelikan, istri terlalu banyak menuntut diluar kemampuan suami. Dalam kehidupan sehari, ternyata kita menemukan banyak perbedaan.Tidak ada sholat jamaah yang selalu kita harapkan, tidak ada bacaan Al Quran tiap malam yang ingin kita dengar, tak ada tangis tengah malam yang terkadang ingin kita lakukan bersama, tak terlihat kesabaran yang selama ini kita angankan. Belum lagi, ketika kemudian kita harus memilih mau tinggal dimana. Istri yang harus mengikuti suami, atau suami yang harus rela mengalah mengikuti istri. Atau justru kita bisa jalan sendiri-sendiri, dengan argumen kita bisa kok melakukan cinta jarak jauh. Benarkah?

Istri selayaknya mengikuti suami kemana dan dimanapun mereka tinggal. Statemen ini mungkin seharusnya diubah. Kita harus bisa bersikap realistis. Zaman sekarang, banyak wanita yang memiliki kemampuan ekonomi yang lebih mapan. Kita harus bisa melihat, siapa yang lebih pantas ikut siapa. Pernikahan yang dilakukan dengan jarak jauh, pastilah tidak sehat. Omong kosong jika kemudian ada yang mengatakan, 'kami baik-baik saja, tidak ada masalah, kami enjoy melakukannya'.

Ketika istri yang lebih memiliki kemapanan dalam ekonomi, sebagai suami harus berbesar hati untuk bisa mengalah dan ikut tinggal di kota tempat istri. Tidak perlu ada gengsi, kita harus bisa melihat kedepan, memang rezeki dari Allah, tapi sekarang semakin sulit mencari kerja, sementara kehidupan pernikahan harus terus berjalan. Tentu saja, setelah mengikuti istri, suami harus berusaha mencari kerja, bukan berarti menggantungkan semua beban ke atas pundak istri. Satu hal yang harus sangat diperhatikan oleh istri ketika dia mempunyai penghasilan yang lebih besar adalah bagaimana bisa menjaga harga diri suami. Apalagi ketika suami belum bekerja. Sesuatu yang wajar jika istri meminta uang sama suami, tapi ketika suami yang harus merendahkan diri meminta uang kepada istri itu adalah mimpi buruk buat seorang laki-laki. Dan bagaimana seorang istri harus bisa mengalah, mengerti, ketika kemudian suami yang belum berpenghasilan lebih sensitif, mudah tersinggung, dan mudah marah.

Sebaliknya, ketika suami yang memiliki kemapanan ekonomi. Istri harus bisa mengikuti. Tinggalkan segala ambisi pribadi, apalagi jika telah mempunyai anak. Bukankah ketika kita menikah, kita telah putuskan. Inilah suamiku yang akan ikuti langkahnya, aku dengar nasehatnya, aku turuti perintahnya, aku sanjung kehormatannya, dan aku jaga keburukannya. Apa gunanya kita mengejar ambisi pribadi, hingga kita tega meninggalkan suami dalam kesendiriannya, meninggalkannya dalam kesepiannya. Apa gunanya kita memenuhi keinginan kita, hingga kita tega meninggalkan anak-anak kita, membiarkan mereka tumbuh tanpa didikan kita, tanpa kasih sayang kita. Tak kita lihat dia tumbuh, tak kita lihat kekuasaan Tuhan lewat keajaiban perkembangan mereka. Dan yang pasti, kita bersalah besar karena kita telah meninggalkan kewajiban kita.