Suamiku


Beberapa hari ini aku lihat dia begitu diam, tapi aku tak berani mencari tahu. Aku tahu dia sedang tak ingin diganggu. Aku sungguh terkejut ketika aku buka file di komputernya. Aku menemukan begitu banyak tulisan tentang perasaannya. Dia ternyata menyimpan cinta yang lain, bukan aku. Tak kuasa kutahan, air mata ini akhirnya jatuh. Kurang apa aku dengan seluruh pengobananku, dengan seluruh perjuanganku untuk mendapatkan cintanya karena ternyata dia tak pernah mengingat itu semua.

Wanita itu, dia adalah teman satu kantornya. Sudah mempunyai suami dan 4 orang anak. Suamiku menggambarkan dia sebagai wanita yang lembut, penuh kasih terhadap anak-anak dan suaminya, tidak secantik aku istrinya, tapi dia mampu membuatnya jatuh cinta. Lama dia menyimpan semua perasaannya, hingga dia beberapa kali harus sakit, demam yang terus berulang tak mengerti karena sebab apa.

Sakit. Sakit sekali aku setelah mengetahui semua. Ingin aku pergi meninggalkan dia. Aku memang tidak bisa masak, lebih sering membeli di luar. Aku juga tidak bersedia mempunyai banyak anak, repot. Anak satu saja sudah sering membuatku kehilangan hari-hari berhargaku. Setiap malam menangis membangunkan tidur lelapku, merengek minta gendong setiap kali melihat kepulanganku, padahal aku lelah. Tugas mengasuh anak bukan cuma tugas ibu, tapi juga tugas seorang ayah, biar ayahnya saja yang mengasuhnya. Aku lelah setelah seharian bekerja. Aku ingin istirahat saja.

Tulisan suamiku menyadarkanku. Aku mencintai suamiku. Aku tak rela jika dia mencintai wanita selain aku. Mulai hari ini aku bisa masak, kuambil kursus masak, belajar banyak dari buku dan intenet  tentang pengasuhan anak. Semua pelajaran kupelajari dengan cepat. Hari ini aku membuat kejutan untuknya.

Aku pulang lebih cepat dari biasanya. Aku memasak makanan kesukaannya. Aku mandikan fitri, anakku. Kubuat fitri cantik, tidak seperti biasa, yang lebih sering tidak kupedulikan. Suamiku pulang dengan tampang yang sangat terkejut melihat kehadiranku di rumah. Lebih terkejut lagi ketika aku menceritakan aku telah memasak makanan kesukaannya yang kuhidangkan di meja makan.
“Mama memasak ini semua untuk papa” dengan cepat dia langsung duduk di meja makan dan mencicipi masakanku.
“Gimana, Pa? Masakan mama enak?” tanyaku ragu.

“Enak. Enak sekali. Selama ini Papa ndak pernah tahu kalo ternyata mama pinter masak. Besok masak lagi ya” pintanya lembut.

Duhai suamiku, begitu pintarnya kau menyembunyikan isi hatimu, tanpa pernah aku melihat kekasaran dari ucapanmu terhadapku. Kau begitu menghargai semua pekerjaanku. Mungkin itulah yang membuatku jadi manja dan tak pernah menyadari kekuaranganku sebagai istri.

“Pasti, Pa. Mulai sekarang mama akan selalu memasakkan makanan apapun yang papa mau” janjiku dengan penuh keyakinan.
 
Hari ini aku terkejut sekali. Aku menerima telepon suamiku dirawat di rumah sakit, perutnya sakit lagi. Aku langsung meninggalkan pekerjaanku untuk melihat keadaannya. Da kelihatan lemah sekali. Aku bujuk untuk makan, dia tetap tidak mau. Aku sedih melihatnya. Dia menyimpan perasaannya sendiri. Dia memendam cintanya pada wanita itu tanpa mampu untuk memberitahukannya pada siapapun. Apalagi pada aku istrinya. Aku berlari keluar ruangan. Aku tidak ingin menangis di depannya. Aku tidak ingin dia tahu bahwa aku telah mengetahui tentang isi hatinya. Biarlah kupendam cemburu ini, sakit ini sendiri.

Setelah tangisku reda. Aku kembali ke ruang tempat suamiku dirawat. Aku terkejut melihat seorang wanita yang sedang menyuapi suamiku makan. Suamiku menikmati sekali makannya, sambil matanya memandang begitu lembut dan mesra kearah wanita yang sedang menyuapinya makan. Siapa wanita itu. Bagaimana mungkin suamiku mau makan setelah disuapi olehnya, sedang disuapi olehku saja dia tidak mau. Aku curiga. Jangan-jangan dia inilah wanita yang dicintai suamiku. Tiba-tiba cemburu itu kembali menyeruak kedadaku, meninggalkan rasa perih, dan air mataku kembali jatuh. Berlari. Aku pergi jauh, tak sanggup aku melihat itu semua.

Tiga hari berlalu. Suamiku sudah sembuh. Aku tahu wanita itu begitu sring datang ke rumah sakit menengok suamiku. Suamiku memang tak butuh aku lagi. Dia kelihatan lebih bahagia bersama wanita itu. Ah, biarlah. Aku harus tetap menunjukkan bahwa aku lebih baik.

“Ma,mama akhir-akhir ini kelihatan lebih cantik, lebih sering di rumah, dan lebih perhatian sama Fitri. Atau mungkin papa yang selama ini kurang perhatian sama mama ya” tiba-tiba saja suamiku mengajakku bicara. Ternyata dia sangat perhatian denganku. Aku memang tidak pernah memperhatikannya selama ini, sehingga akhirnya dia jatuh cinta pada wanita lain. 

“Ah, Maafkan mama ya Pa. Mama janji akan berubah. Mama akan menjadi istri yang baik dan seorang ibu yang baik untuk anak-anak kita nanti” Aku menatapnya penuh harap. Aku berharap kembali melihat cinta di matanya. Tapi dia kelihatan ragu dengan pernyataanku.

“Anak-anak kita? Jadi mama sudah siap memberi seorang adik untuk fitri?” Tanya suamiku ragu.

“Bukan cuma seorang, Pa. Berapapun yang papa inginkan. Aku akan hamil dan melahirkan anak-anak kita” 

Oh, suamiku. Aku ingin kau tahu, aku sangat mencintaimu. Lupakan wanita itu. Cintai aku saja.

“Iya, ma? Aku sangat menyayangi mama dan fitri. Kita akan segera memberinya seorang adik”

Akhirnya, aku lihat juga sedikit cinta dimatanya. Tatapan lembut itu sama seperti tatapannya kepada wanita itu. Aku yakin, aku bisa membuatnya jatuh cinta hanya padaku saja. Selamat datang suamiku. Datang di dunia cinta kita. Hanya cinta kita. Dan aku akan terus berjuang untuk cintaku.